Catatan Perjalanan :

Dari New Orleans Ke Kendal

 

7.   Jika Ingin Tilpun Dari Tilpun Umum Di Bandara Narita

 

Saat itu Senin malam, 14 Pebruari 2000, sambil menunggu saat boarding, saya mencari tilpun umum untuk melakukan panggilan internasional menghubungi adik-adik di Kendal sana. Privilege untuk menunggu di VIP lounge sebagai penumpang kelas bisnis saya korbankan.

 

Saya jumpai beberapa kotak tilpun umum, semuanya sudah diantri oleh calon penilpun. Satu per satu kotak tilpun saya dekati dari samping, di antara antrian orang. Saya baca aturan pakainya dengan teliti, yang ditulis dalam bahasa Jepang dan Inggris. Rupanya ada bermacam-macam perusahaan jasa tilpun, tidak dimonopoli oleh PT Telkom-nya Jepang saja. Ada diantaranya yang dapat dioperasikan menggunakan kartu kredit, tapi hanya Amex yang diterima.

 

Untuk alasan kemudahan, saya coba antri di belakang kotak tilpun yang menerima Amex. Tiba giliran saya, langsung kartu Amex saya gesekkan, dan saya ikuti instruksi selanjutnya. Tidak mau nyambung, dan tidak ada pesan apa-apa. Saya ulangi lagi, juga gagal. Setelah ketiga kalinya gagal, langsung saya batalkan. Saya merasa tidak enak sama orang lain yang antri di belakang saya.

 

Saya pindah ke pesawat di kotak sebelah, tapi sebelumnya saya baca aturan mainnya dulu, ternyata harus menggunakan kartu tilpun. Di dekat situ memang ada mesin penjual kartu tilpun, tapi membelinya harus menggunakan uang Jepang. Padahal di sekitar lobby keberangkatan tidak saya jumpai ada tempat penukaran uang.

 

Terpaksa cari akal, masuk toko souvenir dan cari barang-barang yang layak dibeli setidak-tidaknya tidak akan mubazir, dan yang penting bisa dibayar dengan dollar. Dapatlah piring hias yang ada gambarnya pemandangan kaki Gunung Fuji. Saat membayar, sambil tanya sama kasirnya berapa harga kartu tilpun termurah. Dijawab 1000 yen (saat itu 1 dollar sekitar 105 yen), maka lalu saya bayar souvenir sekalian tukar dollar dengan 1000 yen. Satu langkah untuk tilpun terselesaikan.

 

Langkah berikutnya adalah membeli kartu tilpun kepada mesin. Benar juga, begitu saya selipkan uang 1000 yen ke dalam mesin, langsung keluar selembar kartu tilpun. Lalu saya kembali menuju kotak tilpun yang tadi, dan antri lagi. Tiba giliran, lalu pencet ini-itu. Lho kok tidak sambung-sambung, dihalo-halo sama mesin penjawab katanya kode aksesnya salah. Perasaan saya sudah benar.

 

Saya coba tolah-toleh cari bantuan. Saya pilih seorang gadis Jepang yang sedang menunggu giliran di pesawat tilpun sebelah, lalu saya tanya. Cuma dijawab dengan senyum manis. Saya ulangi bertanya lagi, malah senyumnya makin dimanis-maniskan. Lho? Rupanya tidak paham bahasa Inggris. Lalu saya tanya orang yang antri di belakang saya, dijawab bahwa dia juga baru pertama kali akan memakai tilpun. Wah…! Terpaksa amit mundur dulu, memberi kesempatan kepada yang antri di belakang saya.

 

Belum menyerah saya. Saya coba lagi membaca dengan lebih teliti tata cara melakukan international call. Eh, ketahuan bodohnya. Rupanya mesin penjawab tadi benar, saya telah menggunakan kode akses untuk tilpun interlokal dalam negeri.

 

Kali ini saya gagal untuk berlaku tidak ndeso sebagaimana yang saya peragakan di pesawat sebelumnya. Maklum, saking banyaknya tulisan tentang “juklak” (petunjuk pelaksanaan) menilpun, yang mana untuk setiap perusahaan tilpun yang kotaknya ada di situ tidak sama aturan mainnya.

 

Terpaksa kembali ke antrian lagi, dan kali ini berhasil hingga titik pulsa terakhir. Ngomong dengan adik saya jadinya harus cepat-cepat, wong kartunya yang termurah. Pasti jatah pulsanya sedikit, pikir saya. Entah berapa banyak pulsanya, saya lupa memperhatikan. Yang jelas, belum lima menit ….., pembicaraan saya akhiri dan nampaknya memang pas pulsanya habis.- (Bersambung)

 

 

Yusuf Iskandar

 

[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]